Sekilas tentang Sistem Hukum Civil Law
Tradisi
sistem hukum Civil law adalah tradisi hukum yang (kemungkinan) paling tua dan
paling banyak pengaruhnya serta meluas dipergunakan di dunia ini. Tradisi hukum
ini bersumber dari tradisi hukum Romawi yang kemudian terpecah menjadi dua
yaitu hukum Romawi Jerman/Germania dan hukum Romawi Prancis yang dianut
oleh sebagian besar Negara eropa beserta jajahannya. Tradisi hukum civil law
ini mengandalkan kitab undang-undang (code) sebagai dasar hukum
utamanya. Tradisi hukum ini (dianggap) lahir sejak (kira-kira) tahun 450
sebelum Masehi, saat berlakunya “Undang-undang dua belas pasal” atau “twelve
table” di Romawi, mekipun begitu banyak yang berpendapat tradisi hukum ini
berakar dari kompilasi hukum Romawi “Justisian” yang merupakan kumpulan
undang-undang atas perintah Justianus I/Kaisar Romawi Timur pada tahun
(kira-kira) 534 masehi. Karena mengandalkan kitab undang-undang sebagai sumber
hukum dan dasar hukum utamanya maka sistem hukum Romawi sangat mengandalkan
unsur-unsur logis dan sistematika berpikir. Hakim-hakim dalam Tradisi hukum civil
law pada umumnya menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir
yang bersifat “umum” menuju ke kesimpulan yang bersifat “khusus” (Munir Fuady.
2005 : 5-6). Contoh cara bepikir deduktif adalah seperti ini :
- Berdasarkan
pasal 362 KUHP , “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
- Si A
telah terbukti mengambil barang milik orang lain tanpa ijin secara melawan
hukum
- Jadi
kesimpulannya si A telah melakukan pencurian dan hakim harus menjatuhkan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
Sembilan ratus rupiah.
Hakim-hakim dalam tradisi sistem hukum civil law
pada umumnya bertindak sebagai corong undang-undang, karena hakim memutus
perkara harus berdasarkan undang-undang. Dalam sistem hukum civil law,
hukum adalah undang-undang maka diluar undang-undang adalah “bukan hukum”.
Kedudukan pembentuk peraturan perundangan dalam sistem hukum civil law
sangat penting, karena peraturan perundangan lah satu-satunya sumber hukum yang
menjadi pijakan hakim dalam memutus.
Sekilas tentang
Sistem Hukum Common Law
Tradisi sistem hukum common law berasal dari hukum Inggris.
Negara-negara yang pernah dijajah dan dipengaruhi oleh Inggris juga menganut
sistem hukum ini seperti : Amerika Serikat, Australia, India, Malaysia, Singapur
dan lain-lainya. Diduga sistem hukum ini lahir sekitar tahun 1066 Masehi pada
masa The Norman Conquest of England. Hakim-hakim dalam sistem hukum Common
Law pada umumnya mengandalkan yurisprudensi/precedent sebagai sumber
hukum utamanya sehingga dalil-dalilnya bergerak dari kasus-kasus yang nyata
dalam masyarakat dan memakai sistem juri. Berkebalikan dengan hakim-hakim dalam
sistem civil law yang menggunakan cara berpikir deduktif, hakim dalam
sistem hukum common law memakai pola pikir induktif yaitu menarik
kesimpulan yag bersifat “umum” dari peristiwa-peristiwa yang bersifat “khusus”
(Munir Fuady. 2005 : 6). Contoh cara berpikir induktif adalah sebagai berikut :
- Si A
terbukti mencuri dan dijatuhi pidana lima tahun oleh hakim
- Si B
terbukti mencuri dan dijatuhi pidana lima tahun oleh hakim
- Si C
terbukti mencuri dan dijatuhi pidana lima tahun oleh hakim
- Jadi
kesimpulannya hakim harus menjatuhkan pidana lima tahun bagi orang yang
terbukti mencuri.
Hakim-hakim di Negara yang menganut sistem hukum common
law pada umumnya terikat pada putusan-putusan hakim yang terdahulu. Apabila
dalam putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari,
hakim dapat memutuskan perkara dengan melakukan penafsiran hukum.
Kedudukan hakim dalam sistem hukum common law adalah sangat penting,
karena hakim berwenang menafsirkan hukum manakala belum diputuskan oleh
hakim-hakim terdahulu.
System
hukum Common Law yakni sebagai berikut :
1. System
hukumnya didasarkan pada yurisprudensi yaitu keputusan-keputuasan hakim yang
terdahulu menjadi dasar putusan-putusan hakim selanjutnya.
2. Dalam
coomon law dikenal stare decisis, yaitu suatu prinsip hukumj yang menyatakan
bahwa pengadilan yang lebih rendah harus mengikuti keputusan pengadilan yang
lebih tinggi.
3. Dalam
common law tidak ada kodifikasi hukum. Dalam pengambilan keputusan suatu
perkara yurisprudensi merupakan dasar yang paling utama.
4. Case
Law atau pengumpulan kasus-kasus yang berkaitan dengan perkara sangat penting
dalam common law.
5. System
common law mengenal system juri yaitu orang-orang sipil yang mendapatkan tugas
dari Negara untukberperan sebagai juri dalam persidangan suatu perkara.
6. System
Common Law merupakan system hukum yang memakai logika berpikir induktif dan
analogi.
Kelebihan
dari Sistem Hukum Anglo-Saxon (Common Law) :
1. Sistem Hukum
Anglo-Saxon, Penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat di negara-negara
berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman. Pendapat para ahli dan
praktisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutuskan suatu perkara.
2. Sumber-sumber
hukum terdiri dari putusan-putusan hakim, kebiasaan-kebiasaan, serta
peraturan-peraturan tertulis undang-undang dan peraturan administrasi negara,
walaupun banyak landasan bagi terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis itu
berasal dari putusan-putusan dalam pengadilan. Sehingga sumber hukum yang ada
telah teruji dalam penyelesaian suatu perkara sebelumnya.
3. Kepastian
hukum lebih di hargai lai bila dilihat dari sistem pelaksanaan peradilan di
negara-negara Anglo-Saxon yaitu sistem Juri. Menurut sistem ini dalam suatu
persidangan perkara pidana para Juri-lah yan menentukan apakah terdakwa atau
tertuduh itu bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty) setelah
pemeriksaan selesai. Jika juri menentukan bersalah barulah hakim berperan
menentukan berat rinannya pidana atau jenis pidananya. Bila juri memntukan
tidak bersalah maka Hakim membebaskan terdakwa.
4. Juri yang
digunakan dalam sistem hukum ini adalah orang-orang sipil yang mendapatkan
tugas dari negara untuk berperan sebagai juri dalam sidang perkara. Juri
ditunjuk oleh negara secara acak dan seharusnya adalah orang awam yang tidak
mengetahui sama sekali latar belakang perkara disidangkan. Kedua pihak dalam
perkara kemudian diberi kesempatan untuk mewawancara dan menentukan juri pilihannya.
Sehingga kenetralan dan keadilan dapat lebih terlihat nyata.
5. Hakim
memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk seluruh tata kehidupan
masyarakat. Karena hakim memiliki wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan
peraturan hukum yang berlaku. Selain itu, menciptakan prinsip-prinsip hukum
baru yan akan menjadi peanan bai hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yan
sejenis.
6. Jika ada
suatu putusan yang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,
hakim dapat menetapkan putusan baru berdasarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran
dan akal sehat. Sehingga putusan-putusan yan ada benar-benar sesuai kenyataan
dan menyesuaikan perkembangan masyarakat.
Kekurangan
Sistem Hukum Anglo-Saxon (Common Law):
1. Tidak adanya
kepastian hukumnya. Jika hakim diberi kebebasan untuk melakukan penciptaan
hukum dikhawatirkan ada unsur subjektifnya. Kecuali hakim tersebut sudah
dibekali dengan integritas dan rasa keadilan yan tinggi. Untuk negara-negara
berkembang yang tingkat korupsinya tinggi tentunya sistem hukum anglo-saxon
kurang tepat dianut.
2. Hakim
terlalu diberi kekuasaan yang amat besar dalam menentukan hukuman. Sehingga
terkadang faktor subyeknya dapat terjadi. Karena hakim jua manusia yang
terkadang ada rasa sungkan dan juga ada gejola untuk melakukan
tindakan-tindakan curang.
Sistem Hukum yang dianut di
Indonesia
Apabila ditinjau dari sejarahnya, sistem hukum
Indonesia bercirikan sistem hukum civil law karena Indonesia merupakan
jajahan dari Belanda yang menggunakan sistem hukum civil law hasil
adopsi dari sistem hukum civil law Prancis. Namum dalam kenyataannya,
sistem hukum Indonesia tidaklah murni menganut sistem civil law karena
secara bersamaan Indonesia juga menganut sistem hukum common law.
Pembentuk peraturan perundang-undangan yaitu Presiden RI/ Eksekutif/ Kepala
Negara dan DPR RI/Legislatif memang memberikan wewenang pada Hakim/Yudikatif
untuk melakukan penemuan hukum manakala tidak ada dasar hukumnya dalam
peraturan perundangan. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1)
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan
“pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”. Hakim di Indonesia pada umumnya harus
berpatokan kepada peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum positif
utama di Indonesia, namun apabila tidak ada dasar hukumya hakim harus melakukan
rechtfinding . Jadi sebenarnya sumber hukum utama di Indonesia
tetaplah peraturan perundangan namun guna mengisi kekosongan hukum, pembentuk
undang-undang kekuasaan kehakiman memberikan wewenang kepada hakim untuk
melakukan rechtfinding apabila belum ada dasar hukum atas perkara
tersebut. Walupun demikian putusan hakim tetap berbeda dengan peraturan
perundangan. Letak perbedaannya adalah putusan hakim tidak diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia layaknya peraturan perundangan. Apabila
peraturan perundangan berlaku umum, putusan hakim hanya berlaku bagi para pihak
yang berperkara. Indonesia juga tidak menganut asas precedent (hakim
dalam memutus harus berdasarkan putusan-putusan hakim terdahulu). Jadi Hakim
Indonesia dalam memutus suatu perkara pada dasarnya harus tetap berpatokan pada
peraturan perundangan, bukan pada putusan-putusan hakim terdahulu.
Sistem hukum di Indonesia menganut sistem hukum campuran antara civil law
dan common law. Menurut penulis hal ini merupakan upaya para
penyelengara Negara untuk menggabungkan kelebihan-kelebihan masing-masing
sistem hukum yaitu kepastian hukum (civil law) dan penemuan hukum yang
responsif (common law) . Pada dasarnya hal ini memang diperbolehkan,
karena kendatipun sistem hukum kita menganut warisan kolonial belanda yang berciri
civil law, namun tidak ada kewajiban kita harus saklek/mutlak
menganut sistem hukum civil law karena tentunya setiap Negara memiliki
sejarah dan kebutuhan masyarakat yang berbeda satu sama lainnya. Belum tentu
sistem hukum yang cocok diterapkan di suatu Negara juga cocok apabila
diterapkan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar