Kamis, 12 Januari 2017

Sistem Hukum Civil Law dan Common Law





Sekilas tentang Sistem Hukum Civil Law
            
Tradisi sistem hukum Civil law adalah tradisi hukum yang (kemungkinan) paling tua dan paling banyak pengaruhnya serta meluas dipergunakan di dunia ini. Tradisi hukum ini bersumber dari tradisi hukum Romawi yang kemudian terpecah menjadi dua yaitu hukum Romawi Jerman/Germania dan hukum Romawi Prancis  yang dianut oleh sebagian besar Negara eropa beserta jajahannya. Tradisi hukum civil law ini mengandalkan kitab undang-undang (code) sebagai dasar hukum utamanya. Tradisi hukum ini (dianggap) lahir sejak (kira-kira) tahun  450 sebelum Masehi, saat berlakunya “Undang-undang dua belas pasal” atau “twelve table” di Romawi, mekipun begitu banyak yang berpendapat tradisi hukum ini berakar dari kompilasi hukum Romawi “Justisian” yang merupakan kumpulan undang-undang atas perintah Justianus I/Kaisar Romawi Timur pada tahun (kira-kira) 534 masehi. Karena mengandalkan kitab undang-undang sebagai sumber hukum dan dasar hukum utamanya maka sistem hukum Romawi sangat mengandalkan unsur-unsur logis dan sistematika berpikir. Hakim-hakim dalam Tradisi hukum civil law pada umumnya menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang bersifat “umum” menuju ke kesimpulan yang bersifat “khusus” (Munir Fuady. 2005 : 5-6). Contoh cara bepikir deduktif adalah seperti ini :
  • Berdasarkan pasal 362 KUHP , “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
  • Si A telah terbukti mengambil barang milik orang lain tanpa ijin secara melawan hukum
  • Jadi kesimpulannya si A telah melakukan pencurian dan hakim harus menjatuhkan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
Hakim-hakim dalam tradisi sistem hukum civil law pada umumnya bertindak sebagai corong undang-undang, karena hakim memutus perkara harus berdasarkan undang-undang. Dalam sistem hukum civil law, hukum adalah undang-undang maka diluar undang-undang adalah “bukan hukum”. Kedudukan pembentuk peraturan perundangan dalam sistem hukum civil law sangat penting, karena peraturan perundangan lah satu-satunya sumber hukum yang menjadi pijakan hakim dalam memutus.

Sekilas tentang Sistem Hukum Common Law
            
Tradisi sistem hukum common law  berasal dari hukum Inggris. Negara-negara yang pernah dijajah dan dipengaruhi oleh Inggris juga menganut sistem hukum ini seperti : Amerika Serikat, Australia, India, Malaysia, Singapur dan lain-lainya. Diduga sistem hukum ini lahir sekitar tahun 1066 Masehi pada masa The Norman Conquest of England. Hakim-hakim dalam sistem hukum Common Law pada umumnya mengandalkan yurisprudensi/precedent sebagai sumber hukum utamanya sehingga dalil-dalilnya bergerak dari kasus-kasus yang nyata dalam masyarakat dan memakai sistem juri. Berkebalikan dengan hakim-hakim dalam sistem civil law yang menggunakan cara berpikir deduktif, hakim dalam sistem hukum common law memakai pola pikir induktif yaitu menarik kesimpulan yag bersifat “umum” dari peristiwa-peristiwa yang bersifat “khusus” (Munir Fuady. 2005 : 6). Contoh cara berpikir induktif adalah sebagai berikut :
  • Si A terbukti mencuri dan dijatuhi pidana lima tahun oleh hakim
  • Si B terbukti mencuri dan dijatuhi pidana lima tahun oleh hakim
  • Si C terbukti mencuri dan dijatuhi pidana lima tahun oleh hakim
  • Jadi kesimpulannya hakim harus menjatuhkan pidana lima tahun bagi orang yang terbukti mencuri.
Hakim-hakim di Negara yang menganut sistem hukum common law pada umumnya terikat pada putusan-putusan hakim yang terdahulu. Apabila dalam putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim  dapat memutuskan perkara dengan melakukan penafsiran hukum. Kedudukan hakim dalam sistem hukum common law adalah sangat penting, karena hakim berwenang menafsirkan hukum manakala belum diputuskan oleh hakim-hakim terdahulu.

System hukum Common Law yakni sebagai berikut :
1.      System hukumnya didasarkan pada yurisprudensi yaitu keputusan-keputuasan hakim yang terdahulu menjadi dasar putusan-putusan hakim selanjutnya.
2.      Dalam coomon law dikenal stare decisis, yaitu suatu prinsip hukumj yang menyatakan bahwa pengadilan yang lebih rendah harus mengikuti keputusan pengadilan yang lebih tinggi.
3.      Dalam common law tidak ada kodifikasi hukum. Dalam pengambilan keputusan suatu perkara yurisprudensi merupakan dasar yang paling utama.
4.      Case Law atau pengumpulan kasus-kasus yang berkaitan dengan perkara sangat penting dalam common law.
5.      System common law mengenal system juri yaitu orang-orang sipil yang mendapatkan tugas dari Negara untukberperan sebagai juri dalam persidangan suatu perkara.
6.      System Common Law merupakan system hukum yang memakai logika berpikir induktif dan analogi.

 Kelebihan dari Sistem Hukum Anglo-Saxon (Common Law) :
1.      Sistem Hukum Anglo-Saxon, Penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat di negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman. Pendapat para ahli dan praktisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutuskan suatu perkara.
2.      Sumber-sumber hukum terdiri dari putusan-putusan hakim, kebiasaan-kebiasaan, serta peraturan-peraturan tertulis undang-undang dan peraturan administrasi negara, walaupun banyak landasan bagi terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis itu berasal dari putusan-putusan dalam pengadilan. Sehingga sumber hukum yang ada telah teruji dalam penyelesaian suatu perkara sebelumnya.
3.      Kepastian hukum lebih di hargai lai bila dilihat dari sistem pelaksanaan peradilan di negara-negara Anglo-Saxon yaitu sistem Juri. Menurut sistem ini dalam suatu persidangan perkara pidana para Juri-lah yan menentukan apakah terdakwa atau tertuduh itu bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty) setelah pemeriksaan selesai. Jika juri menentukan bersalah barulah hakim berperan menentukan berat rinannya pidana atau jenis pidananya. Bila juri memntukan tidak bersalah maka Hakim membebaskan terdakwa.
4.      Juri yang digunakan dalam sistem hukum ini adalah orang-orang sipil yang mendapatkan tugas dari negara untuk berperan sebagai juri dalam sidang perkara. Juri ditunjuk oleh negara secara acak dan seharusnya adalah orang awam yang tidak mengetahui sama sekali latar belakang perkara disidangkan. Kedua pihak dalam perkara kemudian diberi kesempatan untuk mewawancara dan menentukan juri pilihannya. Sehingga kenetralan dan keadilan dapat lebih terlihat nyata.
5.      Hakim memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Karena hakim memiliki wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku. Selain itu, menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yan akan menjadi peanan bai hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yan sejenis.
6.      Jika ada suatu putusan yang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, hakim dapat menetapkan putusan baru berdasarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat. Sehingga putusan-putusan yan ada benar-benar sesuai kenyataan dan menyesuaikan perkembangan masyarakat.
Kekurangan Sistem Hukum Anglo-Saxon (Common Law):
1.      Tidak adanya kepastian hukumnya. Jika hakim diberi kebebasan untuk melakukan penciptaan hukum dikhawatirkan ada unsur subjektifnya. Kecuali hakim tersebut sudah dibekali dengan integritas dan rasa keadilan yan tinggi. Untuk negara-negara berkembang yang tingkat korupsinya tinggi tentunya sistem hukum anglo-saxon kurang tepat dianut.
2.      Hakim terlalu diberi kekuasaan yang amat besar dalam menentukan hukuman. Sehingga terkadang faktor subyeknya dapat terjadi. Karena hakim jua manusia yang terkadang ada rasa sungkan dan juga ada gejola untuk melakukan tindakan-tindakan curang.

Sistem Hukum yang dianut di Indonesia
            Apabila ditinjau dari sejarahnya, sistem hukum Indonesia bercirikan sistem hukum civil law karena Indonesia merupakan jajahan dari Belanda yang menggunakan sistem hukum civil law hasil adopsi dari sistem hukum civil law Prancis. Namum dalam kenyataannya, sistem hukum Indonesia tidaklah murni menganut sistem civil law karena secara bersamaan Indonesia juga menganut sistem hukum common law. Pembentuk peraturan perundang-undangan yaitu Presiden RI/ Eksekutif/ Kepala Negara dan DPR RI/Legislatif memang memberikan wewenang pada Hakim/Yudikatif untuk melakukan penemuan hukum manakala tidak ada dasar hukumnya dalam peraturan perundangan. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Hakim di Indonesia pada umumnya harus berpatokan kepada peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum positif utama di Indonesia, namun apabila tidak ada dasar hukumya hakim harus melakukan rechtfinding . Jadi sebenarnya sumber hukum utama di Indonesia tetaplah peraturan perundangan namun guna mengisi kekosongan hukum, pembentuk undang-undang kekuasaan kehakiman memberikan wewenang kepada hakim untuk melakukan rechtfinding apabila belum ada dasar hukum atas perkara tersebut. Walupun demikian putusan hakim tetap berbeda dengan peraturan perundangan. Letak perbedaannya adalah putusan hakim tidak diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia layaknya peraturan perundangan. Apabila peraturan perundangan berlaku umum, putusan hakim hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara. Indonesia juga tidak menganut asas precedent (hakim dalam memutus harus berdasarkan putusan-putusan hakim terdahulu). Jadi Hakim Indonesia dalam memutus suatu perkara pada dasarnya harus tetap berpatokan pada peraturan perundangan, bukan pada putusan-putusan hakim terdahulu.

            Sistem hukum di Indonesia menganut sistem hukum campuran antara civil law dan common law. Menurut penulis hal ini merupakan upaya para penyelengara Negara untuk menggabungkan kelebihan-kelebihan masing-masing sistem hukum yaitu kepastian hukum (civil law) dan penemuan hukum yang responsif (common law) . Pada dasarnya hal ini memang diperbolehkan, karena kendatipun sistem hukum kita menganut warisan kolonial belanda yang berciri civil law, namun tidak ada kewajiban kita harus saklek/mutlak menganut sistem hukum civil law karena tentunya setiap Negara memiliki sejarah dan kebutuhan masyarakat yang berbeda satu sama lainnya. Belum tentu sistem hukum yang cocok diterapkan di suatu Negara juga cocok apabila diterapkan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments System

Disqus Shortname